Sosok Ida Laura Reyer Pfeiffer dalam busana melancong dari kain linen warna kelabu. Litografi karya Adolf Dauthage, 1825–1883.

TEROPONG – “Kami menjumpai laut yang tidak lucu,” ungkap Ida Pfieffer dalam catatan perjalannya di Borneo pada Januari 1852. “Dia mengirimkan ombak yang menyapu kami, sehingga separuh perahu terisi air.”

Setelah berjuang beberapa jam, akhirnya mereka mendapatkan aliran sungai yang tenang. Ida, pelancong asal Austria, bersama seorang pemandu Melayu, meninggalkan Kuching menuju kawasan Iban dengan berperahu menyusuri Sungai Batang Lupar, Sarawak.

Tujuan pertama mereka adalah sebuah benteng di Skrang, yang lokasinya sembilan jam dari tempat mereka berada saat itu.

Komandan Alan Lee, menyambut kedatangan mereka. Dalam catatannya, Ida berkisah, benteng itu terbuat dari kayu dan berdinding pagar dari tanah. Ada sekitar 30 orang pribumi yang menjadi serdadu.

Kedatangan Ida menjadi tontontan lantaran bagi warga pedalaman Borneo, tampaknya dia merupakan sosok aneh bagi mereka. Dialah perempuan kulit putih pertama yang mereka lihat. Pada kenyataannya memang demikian, Ida Pfeiffer memang perempuan Eropa pertama yang menjelajahi pedalaman hutan Borneo, sekitar tiga dekade sebelum penjelajah asal Norwegia, Carl Bock.

Hari berikutnya Ida mengunjungi perkampungan Dayak bersama Komandan Lee.

“Saya menjumpai pondokan besar, panjangnya sekitar 60 meter. Ada sejumlah barang tersebar melimpah di dalamnya,” ungkapnya. “Saya berminat membelinya apabila ada diantara mereka yang menjualnya.”  Ida menyaksikan ragam barang: Kain katun, bahan-bahan dari kulit pohon, anyaman tikar, anyaman keranjang, hingga parang dan peralatan logam lainnya.

Ida berkisah tentang orang-orang Dayak pada masa itu—yang barangkali tak jauh berbeda dengan budaya mereka kini.

Leher dan dada para lelakinya berhiaskan manik-manik kaca, kerang, dan gigi beruang madu. Pergelangan lengan dan kaki berhiaskan gelang kuningan. Kuping mereka ditindik, dan kadang berhias selusin lebih gelang. “Beberapa dari mereka mengenakan gelang yang bertatakan kerang putih yang bernilai lebih,” ungkapnya. “Namun, perhiasan paling mewah adalah kalung dan gelang tangan dari gigi manusia.”

Sibau Mobang, lelaki berusia sekitar 50-an tahun, kepala suku Dayak Tring yang mempunyai tradisi kanibal. Litografi dari ‘The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881. Buku karya Carl Alfred Bock itu berhias 37 litografi dan ilustrasi, umumnya tentang orang dan budaya Dayak.

Namun, ungkap Ida, para perempuannya tampak lebih sederhana dalam perhiasan. Mereka tak beranting, tak bergigi beruang, dan sangat sedikit manik-manik. Mereka mengenakan semacam semacam korset seukuran sejengkal tangan yang berhias ornamen kuningan dan cincin kelam. “Saya mencoba mengangkat satu perhiasan itu, dan saya tak menduga bahwa beratnya sekitar empat kilogram.”

Pada hari yang sama, dia juga berkunjung ke tetangga desa Dayak tadi. Tidak banyak perbedaan soal tata busana mereka. “Kecuali, saya punya kesenangan baru di sini,” ujarnya, “melihat sepasang trofi perang nan ganteng dari dua kepala manusia yang baru saja ditebas.”

Seorang Dayak pemburu kepala di Borneo sekitar 1900-1912. Setiap satu atau dua tahun sekali the Dayak Iban menyelenggarakan adat Gawai Autu untuk menghormati arwah leluhur yang dipercaya berada disekeliling kepala yang tergantung di rumah mereka. Dalam upacara adat itu mereka berharap mendapatkan berkah dan keberuntungan.

Kedua kenang-kenangan atas kemenangan perang itu baru diperoleh beberapa hari sebelumnya dan menampakkan pemandangan yang mengerikan. Kepala itu nantinya diasap hingga dagingnya setengah matang, bibir dan telinga melayu. “Kepala-kepala itu tetap dengan rambutnya,” demikian kisah Ida, “dan salah satu kepala itu bahkan matanya membelalak.”

Mereka mengeluarkan trofi kepala itu dari keranjang, yang kemudian menggantungnya untuk memamerkan dengan rasa puas dan bangga kepada Ida. Tradisi mengayau—berburu kepala musuh untuk dijadikan trofi—tampaknya telah menjadi bagian suku-suku pedalaman di Hindia.

Setelah menyaksikan semua adegan liar itu, Ida merenung, apakah berarti orang Eropa seperti dirinya jauh lebih beradab dari mereka? Bukankah dalam setiap lembaran sejarah Eropa diwarnai dengan perbuatan mengerikan pengkhianatan dan pembunuhan, demikian kecamuk pertanyaan dalam benaknya. Apa yang akan kita katakan tentang perang religius antara Jerman dan Prancis, penaklukkan Amerika, pertumpahan darah di Timur Tengah, hingga Inkuisisi Spanyol?

Bagi Ida, tampaknya melancong tidak sekadar berpindah tempat, tetapi juga menuntunnya supaya punya pemikiran terbuka tentang ragam peradaban dan kerendahan hati.

“Saya tidak berpikir bahwa kita orang Eropa dapat berkata banyak tentang kebiadaban ini,” paparnya. Menurutnya, bangsa Eropa juga membunuh musuh dan bahkan menyiksa musuh mereka—dengan berbagai alat dan cara penyiksaan—sementara orang-orang Dayak membunuh musuh tanpa menyiksanya. “Dan apa yang telah mereka lakukan, mungkin kita dapat memaafkan mereka yang tidak mendapat pencerahan agama dan budaya intelektual.”

Kisah ini merupakan cuplikan dari A Lady’s Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfeiffer yang terbit di London pada 1855.

 

https://nationalgeographic.grid.id/read/131799160/kesaksian-perempuan-eropa-tentang-pemburu-kepala-manusia-di-kalimantan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here